Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti "pulau".
Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di pesisir Sri Langka
kekerabatan bahasa indonesia dengan rumpun bahasa Austronesia, bahasa Austro-Asia, bahasa Tai-Kadai dan bahasa Hmong-Mien (juga disebut Miao-Yao).
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Austronesia
Rabu, 26 Februari 2014
D. Bill Porter contoh kasus kelumpuhan saraf otak
Lumpuh otak (cerebral palsy, CP) adalah suatu kondisi terganggunya
fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar,
pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.
Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan, banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena:
- Bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang dengan sempurna.
- Bayi lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen saat dalam kandungan.
- Adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak.
Lantas, bila seseorang menderita penyakit kelumpuhan otak sehingga mengakibatkan syaraf-syaraf lainnya terganggu, apakah juga kemudian masa depan perjalanan hidupnya bisa dikatakan suram?
Tidak juga.
Simaklah kisahnya
Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan, banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena:
- Bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang dengan sempurna.
- Bayi lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen saat dalam kandungan.
- Adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak.
Lantas, bila seseorang menderita penyakit kelumpuhan otak sehingga mengakibatkan syaraf-syaraf lainnya terganggu, apakah juga kemudian masa depan perjalanan hidupnya bisa dikatakan suram?
Tidak juga.
Simaklah kisahnya
Bill terlahir cacat dengan menderita penyakit cerebral palsy,
penyakit itu mengganggu struktur syaraf otaknya, sehingga berakibat…
ia berjalan dengan pincang,
tangan kanan tidak bisa digerakkan dan bergantung begitu saja,
tubuh bagian kirinya pun tidak bekerja selayaknya orang normal,
dan iapun sangat sulit berjalan tegak,
serta bicaranya juga tidak jelas.
Namun tahukah Anda?
Orang tuanya menganggap kondisi ini bukan pertanda suram bagi masa depan Bill.
Ibu Bill Porter selalu menolak bantuan bagi orang cacat yang disediakan pemerintah untuknya.
Ibunya mengajarkan agar Bill memilih bekerja keras untuk membuktikan bahwa seorang cerebral palsy sekalipun… bisa mencapai prestasi-prestasi yang biasa dicapai oleh orang normal.
Semenjak itu, ibu Bill bersemangat membantu menumbuhkan kemandiriannya.
Bill Porter berjuang keras menyelesaikan sekolahnya.
Setelah lulus sekolah menengah, ia mulai mencari kerja.
Bill mendapat pekerjaan pertama sebagai pegawai tata usaha saham,
namun setelah satu hari bekerja… ia dipecat.
Kemudian ia bekerja sebagai kasir untuk Goodwill,
namun setelah tiga hari bekerja… ia dipecat.
Selanjutnya ia mendapat pekerjaan di Salvation Army, mengurusi dokumen pemuatan barang
namun tidak berapa lama… ia dipecat.
Kemudian bekerja di Veteran Administration bekerja sebagai operator telepon.
Namun sama juga, tidak berapa lama kemudian… ia dipecat.
Begitulah…
Bekerja… dipecat..
Bekerja… dipecat..
Setelah lebih banyak pemecatan lagi.
Sumber: http://iwanyuliyanto.wordpress.com/2011/06/18/amazing-penderita-lumpuh-otak-itu-berhasil-menjadi-top-salesman/
C. Contoh kasus afasia
AFASIA atau sulit bicara
yang biasa terjadi pascastroke biasanya membuat seseorang rendah diri
dan minder bergaul. Padahal, menjalin komunikasi dengan lingkungan
menjadi obat mujarab untuk penyembuhan stroke.
Di usia yang terhitung belia, David Dow, 10, dari Madison, Ohio,
Amerika Serikat, telah mengalami stroke. Stroke yang terjadi pada 1995
ini disebabkan adanya kelainan genetik langka yang menyumbat pembuluh
darahnya. Pembuluh darah akhirnya pecah dan membuat David terkena
stroke.Melalui dua operasi, David pun bisa lolos dari serangan stroke tersebut. Namun, dia mengalami afasia atau kesulitan bicara pascastroke. Tentu saja, kondisi ini membuat David kurang percaya diri. Beruntung, ibu dan ayah tirinya sangat mendukung dan memberi semangat kepada David. Begitu juga dengan teman-teman di sekolahnya yang memberikan dukungan agar David tidak minder dengan afasia yang dialaminya.
Keluarga Dow juga memberikan David les belajar tambahan setiap hari, kursus komputer, dan kelas seni. David juga berhasil menulis buku tentang kisahnya sebagai pasien stroke yang laris di pasaran, mendesain peralatan tulis dan kaus. Kini, David sedang menjalani kuliahnya di perguruan tinggi lokal dan bekerja paruh waktu di perusahaan ritel Abercrombie and Fitch.
David adalah contoh pasien afasia yang berhasil bertahan hidup berkat dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Tapi di luar itu, lebih banyak orang yang gagal kembali bergaul dengan lingkungan garagara dia mengalami afasia.
Afasia didefinisikan sebagai gangguan berbahasa yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak. Penyebab tersering adalah akibat stroke.
”Tidak hanya stroke, bisa juga karena tumor otak atau perdarahan di pusat otak,” ujar spesialis saraf dari FKUI/RSCM, dr Silvia Francina Lumempouw SpS (K) ketika dihubungi Sindo.
Silvia mengemukakan, umumnya afasia muncul bila otak kiri terganggu. Sebab, otak kiri bagian depan berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam bahasa dengan baik dan otak kiri bagian belakang untuk mengerti bahasa yang didengar dari lawan bicara. Sementara otak kanan, berfungsi mengontrol kegiatankegiatan nonverbal dan persepsi ruang.
”Jika otak bagian kiri depan yang tersumbat, maka pasien menjadi tidak bisa berbicara. Jika menyerang otak kiri belakang, dia masih bisa bertutur, namun tidak nyambung,” ujar dia.
Ada juga beberapa laporan yang menyatakan, gangguan afasia dapat terjadi di belahan otak kanan, meski kasusnya sangat jarang. Peran pasien afasia dalam kehidupan sosial mungkin berubah setelah terkena gangguan ini. Bukannya membanyol, dia mungkin menjadi orang yang hanya menertawakan lelucon. Jika penderita adalah pengatur seluruh kegiatan keluarga, kini dia hanya bisa duduk tenang di acara tersebut. Kunci untuk menangani penderita adalah tetap disertakan dalam acara keluarga, namun dalam cara yang berbeda dan merupakan kegiatan yang memuaskan dan penting.
Seiring waktu, banyak penderita afasia dapat tetap kaya dan menikmati kehidupan yang sosial bermanfaat. Belajar untuk berkomunikasi lagi adalah salah satu fungsi penting rehabilitasi terapi afasia.
“Keinginan untuk terhubung dengan orang lain melalui bahasa, itulah esensi dari rasa kemanusiaan kita,” kata Susan Jackson, ahli patologi kemampuan bahasa dan bicara, yang juga dosen di University of Kansas Medical Center, Kansas City, Kansas, Amerika Serikat.
The National Aphasia Association menyatakan, setengah dari pasien dengan gejala afasia pulih dalam beberapa hari pertama. Namun, ada banyak faktor yang menyebabkan proses pemulihan membutuhkan waktu lebih lama. Hasil sebuah studi dari lebih 100 pasien stroke dengan afasia mencatat adanya kemajuan signifikan pada pasien yang menjalani terapi intensif, melalui sesi individual dengan seorang profesional terlatih selama minimal 12 minggu.
“Gangguan pada otak tidak akan sembuh sendiri dari waktu ke waktu, tetapi perlu intervensi untuk membuat pemulihan yang lebih baik,” ujar Jackson.
Bagi Anda yang sedang berjuang melawan afasia, wajar jika Anda merasa tidak nyaman berada dalam situasi sosial. Anda mungkin kurang percaya diri dalam kemampuan untuk berkomunikasi sehingga masih ragu untuk berbicara.
Anda memang tidak dapat berbicara dengan baik atau memahami percakapan dengan cepat, tapi itu tidak berarti Anda tidak boleh berpartisipasi dalam komunikasi verbal. Terapi bicara dan bahasa dapat membantu Anda meraih kembali kemampuan bahasa dan kepercayaan sosial Anda.
sumber ;m.okezone.com › Health › Health Update
Senin, 24 Februari 2014
B.Disleksia
Kesulitan belajar
membaca sering disebut disleksia (dyslexia ). Istilah disleksia berasl dari
bahasa Yunani yaitu “dys” yang berarti sulit dalam dan “lex” berasal dari
legein yang berarti berbicara. Pengertian disleksia berarti menderita kesulitan
yang berhubungan dengan kata symbol – symbol tulis atau “kesulitan membaca”.
Sebut saja namanya Denny,
bocah berusia delapan tahun. Di sekolah, anak ini tidak hanya lincah, tetapi
juga mudah bergaul dengan siapa saja. Namun Denny sering membuat ayah dan
ibunya bingung karena tingkah-laku dan cara berpikir yang berbeda. Denny
memiliki sikap pelupa, tidak suka membaca, sulit mengeja, dan lemah memahami
konsep dalam subjek matematika dan sering tidak memahami apa yang dibacanya.
Orangtua Denny mendapat laporan dari guru bahwa anak itu sulit menghafal abjad, susah menghafal nama hari sesuai urutannya, dan sulit menulis. Abjad ditulisnya tidak sesuai dengan pembentukan benar. Dia juga sering keliru menulif huruf b dan d, p dan q. Huruf z, j, dan g, sering ditulis terbalik. Akhirnya Denny belum dapat membaca dengan lancar, meskipun sudah naik kelas. Tetapi di balik itu, dia fasih berbicara dan sering memberikan ide menarik. Ia lebih senang mendengar cerita yang dibacakan guru, dibanding membaca.
Suatu ketika ketika ditanya kenapa ia tidak mau membaca, Denny mengatakan saat membuka buku ia melihat huruf yang ada di dalamnya campur-aduk, sehingga kata-katanya tidakjelas. AkhirnyadiketahuiDennymengalamidisleksia.
Belajar dari pengalaman Denny, biasanya sebagian orangtua gemas ketika melihat anaknya lamban, terutama saat membaca dan menulis. Orangtua umumnya langsung mengklaim anaknya memiliki kekurangan inteligensia. Padahal ketika si anak kesulitan dengan kata-kata, baik saat membaca atau menulis, serta menerangkan sesuatu, kemungkinan si anak mengalami disleksia.
Orangtua Denny mendapat laporan dari guru bahwa anak itu sulit menghafal abjad, susah menghafal nama hari sesuai urutannya, dan sulit menulis. Abjad ditulisnya tidak sesuai dengan pembentukan benar. Dia juga sering keliru menulif huruf b dan d, p dan q. Huruf z, j, dan g, sering ditulis terbalik. Akhirnya Denny belum dapat membaca dengan lancar, meskipun sudah naik kelas. Tetapi di balik itu, dia fasih berbicara dan sering memberikan ide menarik. Ia lebih senang mendengar cerita yang dibacakan guru, dibanding membaca.
Suatu ketika ketika ditanya kenapa ia tidak mau membaca, Denny mengatakan saat membuka buku ia melihat huruf yang ada di dalamnya campur-aduk, sehingga kata-katanya tidakjelas. AkhirnyadiketahuiDennymengalamidisleksia.
Belajar dari pengalaman Denny, biasanya sebagian orangtua gemas ketika melihat anaknya lamban, terutama saat membaca dan menulis. Orangtua umumnya langsung mengklaim anaknya memiliki kekurangan inteligensia. Padahal ketika si anak kesulitan dengan kata-kata, baik saat membaca atau menulis, serta menerangkan sesuatu, kemungkinan si anak mengalami disleksia.
Daftar pustaka: felinophobia.blogspot.com/.../analisis-kasus-disleksia
Tugas cari contoh kasus
A. Kegagapan
Anak yang
gagap sering kali mendapat gertakan, semakin gagap ia semakin sering pula
menerima gertakan.
“Bbbbebebe.......bebe.....” Ari yang berusia sembilan tahun itu tak segera dapat meluncurkan kata “betul” dari mulutnya, saat harus menjawab pertanyaan dari gurunya. Yang terdengar kemudian justru teriakan teman-teman di kelasnya dengan bersama-sama melontarkan satu kata, “Dor!”
Ari tertunduk malu, ia tampak tidak berdaya menghadapi gertakan keras yang memotong kata yang hendak diucapkannya. Lebih-lebih ejekan dan suara tawa berseliweran dari teman-teman sekelasnya.
Sayangnya guru di kelas tidak cukup tegas memberikan perlindungan bagi murid yang mengalami gangguan wicara akibat gagap itu. Senyum tipis bahkan tersungging di bibir sang guru, meskipun setelah itu terucap peringatan tanggung, “Ssssttt.... anak-anak tidak boleh begitu. Beri kesempatan Ari untuk menjawab.”
Dengan situasi seperti itu, yang terjadi hampir setiap saat, Ari akhirnya lebih suka menarik diri dari pergaulan. Ia tumbuh sebagai anak yang pemalu, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk belajar, sehingga nilai-nilai rapornya selalu bagus. Ari tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan cerdas, dengan bakat melukis yang bagus, tetapi gagap saat berbicara
Penyebab Gagap
Menurut William Murphy, seorang peneliti di Departement of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University As “gagap terjadi karena adanya kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar bicara”. Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata.
Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap. Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.
Sering Digertak
Dalam berbagai kesempatan kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak yang sudah mengalami penderitaan akibat gagap dalam berbicara ini, harus semakin tersiksa oleh tingkah laku teman-temannya atau bahkan oleh orang dewasa lain yang tidak cukup bijaksana. Anak-anak ini biasanya digertak sedemikian rupa ketika yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akibatnya, mereka menjadi semakin kecil hati, rendah diri, tidak nyaman, takut dan enggan untuk berbicara.
Menurut National Stuttering Association, AS, penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang gagap berbicara justru lebih sering mengalami gertakan dibandingkan anak-anak lain. Dan semakin buruk kegagapan yang dialami seorang anak, semakin sering pula yang bersangkutan mendapat gertakan.
Dalam buku terbaru keluaran Purdue University berjudul Bullying and Teasing: Helping Children Who Stutter, di mana Murphy juga ikut menulis, dijelaskan bahwa bagi anak-anak yang gagap, gangguan dan gertakan dari teman-temannya justru membuat mereka lebih gelisah dan menderita dibanding gangguan wicara itu sendiri. Mungkin itu pula sebabnya meskipun anak-anak itu sudah mendapatkan terapi wicara dan telah mengalami kemajuan dalam keterampilan berbicara, persoalan tidak dengan sendirinya terlepas dari mereka. Anak-anak itu tetap saja memiliki perasaan negatif tentang dirinya dan kegagapannya, ketika mereka tumbuh semakin besar. Keterampilan mereka berbicara yang boleh jadi sudah tidak memperlihatkan sisa-sisa kegagapan, masih tetap dibayangi oleh rasa malu dan minder, yang diperoleh dari gangguan dan gertakan-gertakan yang telah dialami.
Di sisi lain, orangtua tidak begitu yakin apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan jika anak mereka yang gagap mendapat gertakan dan gangguan dari teman-temannya. Sebagian orangtua menyarankan anak-anak supaya membalas gangguan yang diterimanya. Yang lain menganjurkan untuk mengabaikan saja gertakan yang didapat, dan menjauh dari teman-teman yang suka menggertak dan mengganggu.
Namun, menurut Murphy, anak-anak tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan gangguan dan gertakan yang sering diterimanya itu karena memang mereka merasa sangat terganggu.
Melakukan serangan balik terhadap anak-anak atau orang lain yang mengganggu juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin mendatangkan lebih banyak masalah dengan anak-anak yang suka menggertak itu.
Mengatasi kegagapan tidak semudah yang orang sering ucapkan ketika menghadapi anak gagap: “Pokoknya tenang dan kalem saja kalau mau berbicara.” Saran ini mungkin cocok bagi anak-anak yang grogi, tetapi bukan itu yang diperlukan oleh anak yang gagap.
Yang pasti, gagap pada masa anak-anak dapat diatasi dengan terapi wicara.
Terapi yang dilakukan ketika masih kanak-kanak akan lebih mudah meraih keberhasilan dibanding saat yang bersangkutan sudah dewasa. Salah satu contoh orang yang pernah mengalami kegagapan di masa kanak-kanak adalah Winston Churchill.
Untuk mengatasi perasaan negatif serta rasa malu akibat kegagapan yang pernah dialami itu, alangkah baiknya jika anak-anak mendapatkan pendampingan dari psikolog, selama diperlukan. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan dari mereka.
“Bbbbebebe.......bebe.....” Ari yang berusia sembilan tahun itu tak segera dapat meluncurkan kata “betul” dari mulutnya, saat harus menjawab pertanyaan dari gurunya. Yang terdengar kemudian justru teriakan teman-teman di kelasnya dengan bersama-sama melontarkan satu kata, “Dor!”
Ari tertunduk malu, ia tampak tidak berdaya menghadapi gertakan keras yang memotong kata yang hendak diucapkannya. Lebih-lebih ejekan dan suara tawa berseliweran dari teman-teman sekelasnya.
Sayangnya guru di kelas tidak cukup tegas memberikan perlindungan bagi murid yang mengalami gangguan wicara akibat gagap itu. Senyum tipis bahkan tersungging di bibir sang guru, meskipun setelah itu terucap peringatan tanggung, “Ssssttt.... anak-anak tidak boleh begitu. Beri kesempatan Ari untuk menjawab.”
Dengan situasi seperti itu, yang terjadi hampir setiap saat, Ari akhirnya lebih suka menarik diri dari pergaulan. Ia tumbuh sebagai anak yang pemalu, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk belajar, sehingga nilai-nilai rapornya selalu bagus. Ari tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan cerdas, dengan bakat melukis yang bagus, tetapi gagap saat berbicara
Penyebab Gagap
Menurut William Murphy, seorang peneliti di Departement of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University As “gagap terjadi karena adanya kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar bicara”. Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata.
Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap. Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.
Sering Digertak
Dalam berbagai kesempatan kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak yang sudah mengalami penderitaan akibat gagap dalam berbicara ini, harus semakin tersiksa oleh tingkah laku teman-temannya atau bahkan oleh orang dewasa lain yang tidak cukup bijaksana. Anak-anak ini biasanya digertak sedemikian rupa ketika yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akibatnya, mereka menjadi semakin kecil hati, rendah diri, tidak nyaman, takut dan enggan untuk berbicara.
Menurut National Stuttering Association, AS, penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang gagap berbicara justru lebih sering mengalami gertakan dibandingkan anak-anak lain. Dan semakin buruk kegagapan yang dialami seorang anak, semakin sering pula yang bersangkutan mendapat gertakan.
Dalam buku terbaru keluaran Purdue University berjudul Bullying and Teasing: Helping Children Who Stutter, di mana Murphy juga ikut menulis, dijelaskan bahwa bagi anak-anak yang gagap, gangguan dan gertakan dari teman-temannya justru membuat mereka lebih gelisah dan menderita dibanding gangguan wicara itu sendiri. Mungkin itu pula sebabnya meskipun anak-anak itu sudah mendapatkan terapi wicara dan telah mengalami kemajuan dalam keterampilan berbicara, persoalan tidak dengan sendirinya terlepas dari mereka. Anak-anak itu tetap saja memiliki perasaan negatif tentang dirinya dan kegagapannya, ketika mereka tumbuh semakin besar. Keterampilan mereka berbicara yang boleh jadi sudah tidak memperlihatkan sisa-sisa kegagapan, masih tetap dibayangi oleh rasa malu dan minder, yang diperoleh dari gangguan dan gertakan-gertakan yang telah dialami.
Di sisi lain, orangtua tidak begitu yakin apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan jika anak mereka yang gagap mendapat gertakan dan gangguan dari teman-temannya. Sebagian orangtua menyarankan anak-anak supaya membalas gangguan yang diterimanya. Yang lain menganjurkan untuk mengabaikan saja gertakan yang didapat, dan menjauh dari teman-teman yang suka menggertak dan mengganggu.
Namun, menurut Murphy, anak-anak tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan gangguan dan gertakan yang sering diterimanya itu karena memang mereka merasa sangat terganggu.
Melakukan serangan balik terhadap anak-anak atau orang lain yang mengganggu juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin mendatangkan lebih banyak masalah dengan anak-anak yang suka menggertak itu.
Mengatasi kegagapan tidak semudah yang orang sering ucapkan ketika menghadapi anak gagap: “Pokoknya tenang dan kalem saja kalau mau berbicara.” Saran ini mungkin cocok bagi anak-anak yang grogi, tetapi bukan itu yang diperlukan oleh anak yang gagap.
Yang pasti, gagap pada masa anak-anak dapat diatasi dengan terapi wicara.
Terapi yang dilakukan ketika masih kanak-kanak akan lebih mudah meraih keberhasilan dibanding saat yang bersangkutan sudah dewasa. Salah satu contoh orang yang pernah mengalami kegagapan di masa kanak-kanak adalah Winston Churchill.
Untuk mengatasi perasaan negatif serta rasa malu akibat kegagapan yang pernah dialami itu, alangkah baiknya jika anak-anak mendapatkan pendampingan dari psikolog, selama diperlukan. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan dari mereka.
DaftarPustaka :
Saraswati, Widya. Anak Gagap Jangan Digertak. www.nasional.kompas.com
Selasa, 18 Februari 2014
Tugas Pertama FBI (Fonologi Bahasa Indonesia) FU (FKIP UIR)
A.Sifat-Sifat Bahasa
1. Bahasa itu adalah Sebuah Sistem
Sistem
berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang
bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu
dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari
unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan
membentuk satu kesatuan.
Sebagai sebuah sistem,bahasa itu
bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun
menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa
itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem
atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran linguistik). Tataran
linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran
sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial,
bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
2. Bahasa itu Berwujud Lambang
Lambang
dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu
semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam
kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda
yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala
(sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang
bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat
wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
3. Bahasa itu berupa bunyi
Menurut
Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat
dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam
tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap
manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia termasuk bunyi bahasa.
4. Bahasa itu bersifat arbitrer
Kata
arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap,
mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak
adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu)
dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinant de Saussure (1966: 67) dalam dikotominya membedakan apa yang
dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang
bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung
signifiant.
Bolinger (1975: 22) mengatakan: Seandainya ada
hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang
yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata
apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa
menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri)
yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi
”saran” atau ”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.
5. Bahasa itu bermakna
Salah
satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang.
Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian, suatu konsep,
suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi
itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena
bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat
disebut bukan bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] : bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna = bukan bahasa
6. Bahasa itu bersifat konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat
arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu
bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu
mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili
konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat
bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan
digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.
7. Bahasa itu bersifat unik
Bahasa
dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas
sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa
menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan
kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
8. Bahasa itu bersifat universal
Selain
bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri
yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini.
Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu
mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
9. Bahasa itu bersifat produktif
Bahasa
bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas,
tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat
satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai
dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil fonem
dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem
tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/
10. Bahasa itu bervariasi
Anggota
masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan
berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena
perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada
tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan.
Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.
11. Bahasa itu bersifat dinamis
Bahasa
tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang
keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat.
Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan
dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu
berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi
dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru,
peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
12. Bahasa itu manusiawi
Alat
komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang
bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa
bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam
arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh
manusia.
13. Bersifat insani
bahasa dikatakan bersifat insani karena hanya manusialah yang memiliki bahasa
Sumber: http://sastra33.blogspot.com/2011/06/linguistik-umum-2.html
B. Ada 3 istilah ''linguistik'' yang terkenal yaitu:Langage : berarti bahasa secara umum (abstrak, bahasa milik manusia), seperti tampak dalam ungkapan “manusia punya bahasa sementara hewan tidak”.
Langue : artinya suatu bahasa tertentu yaitu bahasa nasional / sistem tersendiri) seperti bahasa arab, bahasa inggris, atau bahasa jawa
Parole : adalah bahasa dalam wujudnya yang konkret yang berupa ujaran, ucapan menurut logatnya, (individu).
C. Linguistik di lihat dari pembidanganya, di lihat dari segi pembidanganya, maka linguistik dapat dibagi atas :
·
·
Linguistik Terapan
Ilmu yang berusaha menerapkan hasil
penelitian dalam bidang linguistik untuk keperluan praktis. Linguistik terapan
dapat juga dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan-peroalan praktis yang banyak
sangkut pautnya dengan bahasa. Jadi, linguistik hanya dipakai sebagai alat.
Misalnya, dalam pengajaran bahasa, linguistik dapat di manfaatkan untuk
mengajarkan bahasa agar perolehan anak akan lebih meningkat.
·
Linguistik Teoritis
Linguistik teoritis adalah bidang penelitian bahasa (linguistik) yang dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah
yang berlaku dalam bahasa manusia pada umumnya .
Bidang-bidang yang secara umum dianggap sebagai inti linguistik teoritis
adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Linguistik teoritis juga terlibat dalam pencarian universal linguistik, yaitu sifat umum yang dimiliki semua bahasa.
Linguistik teoritis mengutamakan
penelitian bahasa dari segi internal. Jadi, meneropong bahasa dari
kegiatan-kegiatan yang di jumpai dalam
bahasa.
Istilah
linguistik teoritis hendaknya dibedakan dengan istilah teori linguistik.
D. Unsur bahasa dalam bentuk kalimat-kalimat. Kalimat terdiri dari unsur segmental dan suprasegmental.
1. Unsur segmental adalah rentetan bunyi yang membentuk satuan-satuan bunyi. Unsur segmental
yang terkecil adalah fonem. Yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan huruf.
2. Unsur suprasegmental merupakan unsur kalimat yang berupa intonasi yang terdiri atas lafal, tekanan, nada dan jeda.
* Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang mengucapkan bunyi-bunyi bahasa.
* Tekanan adalah panjang pendek, atau keras lemahnya bagian-bagian ujaran tertentu.
- Tekanan dalam bahasa tertentu bersifat fonemis (dapat membedakan makna kata) dan
- Tekanan dalam bahasa Indonesia tidak bersifat fonemis (tidak berfungsi sebagai pembeda makna kata). Di samping itu, tekanan juga berfungsi untuk menandai bagian-bagian yang dipentingkan.
* Nada adalah naik turun atau tinggi rendahnya suara dalam pelafalan kalimat. Nada memiliki peranan penting dalam pembentukan isi/jenis kalimat.
- Kalimat berita menggunakan nada akhir menurun, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan titik (.),
- Kalimat perintah menggunakan nada mendatar yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda seru (!),
- Kalimat tanya menggunakan nada akhir naik yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya (?).
* Jeda merupakan kesenyapan antarbagian ujaran yang mengisyaratkan batas satuan ujaran itu. Dalam bahasa tulis kesenyapan dilambangkan dengan spasi, garis miring(/), koma (,), titik koma (;), titik dua (:), tanda hubung (-), dan tanda pisah (--).
E. Ejaan
Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa (kata, kalimat, dan sebagainya) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan dan mempunyai makna.
Tulisan yang lebih duluan karena berpikir yang dituangkan dalam kata-kata setelah ejaan
Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu
- aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad
- aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis
- aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca.
Sumber: Harimurti Kridalaksana (2008). Kamus Linguistik (ed. 4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8.
- Ejaan Van Ophuysen
Ejaan Van Ophuysen disebut
juga Ejaan Balai pustaka. Masyarakat pengguna bahasa menerapkannya
sejak tahun 1901 sampai 1947.Ejaan ini merupakan karya Ch.A. Van Ophuysen, dimuat dalam kitab Logat Melayoe (1901). Ciri khusus ejaan Van Ophuysen:
Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
-
Huruf (u) ditulis (oe).
-
Komahamzah (k) ditulis dengan tanda (’) pada akhir kata misalnya bapa’, ta’
-
Jika pada suatu kata berakhir dengan huruf (a) mendapat akhiran (i), maka di atas akhiran itu diberi tanda trema (”)
-
Huruf (c) yang pelafalannya keras diberi tanda (’) diatasnya
-
Kata ulang diberi angka 2, misalnya: janda2 (janda-janda)
-
Kata majemuk dirangkai ditulis dengan 3 cara :
-
Dirangkai menjadi satu, misalnya (hoeloebalang, apabila)
-
Dengan menggunakan tanda penghubung misalnya, (rumah-sakit)
-
Dipisahkan, misalnya (anaknegeri)
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan dipotong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini.
Kebanyakan catatan tertulis Bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.
2. Ejaan Republik/Ejaan Suwandi
Ejaan Republik dimuat dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr. Soewandi No.264/Bhg. A tanggal 19 maret 1947.Sebab ejaan ini disebut sebagai Ejaan Suwandi. Sistem ejaan suwandi merupakan sistem ejaan latin untuk Bahasa Indonesia.
Ciri khusus Ejaan Republik/ Suwandi :
-
Huruf (oe) dalam ejaan Van Ophuysen berubah menada (u).
-
Tanda trema pada huruf (a) dan (i) dihilangkan.
-
Koma ‘ain dan koma hamzah dihilangkan. Koma hamzah ditulis dengan (k) misalnya kata’ menjadi katak.
-
Huruf (e) keras dan (e) lemah ditulis tidak menggunakan tanda khusus, misalnya ejaan, seekor, dsb.
-
Penulisan kata ulang dapat dilakukan dengan dua cara.
Contohnya :
a. Berlari-larian
b. Berlari2-an
6. Penulisan kata majemuk dapat dilakukan dengan tiga cara
Contohnya :
a. Tata laksana
b. Tata-laksana
c. Tatalaksana
7.
Kata yang berasal dari bahasa asing yang tidak menggunakan (e) lemah
(pepet) dalam Bahasa Indonesia ditulis tidak menggunakan (e) lemah,
misalnya: (putra) bukan (putera), (praktek) bukan (peraktek).
3. Ejaan Malindo
Ejaan
Malindo (Melayu-Indonesia) adalah suatu ejaan dari perumusan ejaan
melayu dan Indonesia.Perumusan ini berangkat dari kongres Bahasa
Indonesia tahun 1954 di Medan, Sumatera Utara.Ejaan Malindo ini belum
sempat diterapkan dalam kegiatan sehari-hari karena saat itu terjadi
konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan/EYD
Pada
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan
pemakaianEjaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan
Putusan Presiden No. 57,Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena
penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober
1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah
ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi
dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Sumber :Syafi’ie, Dr. Imam. 1990. Bahasa Indonesia Profesi. Malang: IKIP Malang
Yaqin, M. Zubad Nurul. 2011. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: UIN Maliki Press
Tim Pustaka Widyatama. 2009. EYD Lengkap. Malang: Pustaka Widyatama
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_penulisan_tanda_baca.html
Langganan:
Postingan (Atom)